Ah, hujan yah? Hujan pertama setelah ribuan keluhan karena kemarau yang panjang. Hujan yang dielu-elukan kedatangnnya oleh jiwa-jiwa yang kering karena kemarau. Bau tanah yang basah, oh, seperti menghirup aroma surga.
Ini...seperti dirimu, bukan?
Aku masih ingat bagaimana kau menawarkan cinta seperti hujan yang membawa kesejukan setelah kemarau panjang. Kau datang saat aku muak dengan musim itu. Panas, menyengat, kering, menyiksa. Dengan mantap, kuucapkan selamat tinggal pada kemarau dan berlari menyambut hujan. Aku menari-nari dalam belaian hujan yang lembut dan sejuk. Rasanya seperti ingin selamanya berada dalam kedamaian ini.
Tapi semuanya tidak bertahan lama. Ada masa ketika akhirnya hujan dicaci-maki. Ketika hujan turun secara berlebihan hingga tak cukup tempat untuk menampungnya. Ketika tak ada lagi yang memuji bau tanah yang basah karena hujan. Semuanya menjadi lumpur. Becek. Dan kehadiran mentari diinginkan kembali.
Aku pun merasakannya. Saat cintamu terasa berlebihan dan aku tahu hujan ini pun tak lebih baik dari kemarau yang kutinggalkan. Ketika aku sadar, bahwa menari dalam hujan akan membuat dingin menusuk hingga ke tulang. Juga saat aku mulai kesal karna hujan menahan langkahku yang biasanya bebas.
Aku mulai mengingat-ingat bahwa di balik panasnya sengatan sang surya di musim kemarau, ada hal yang tak bisa diberikan musim hujan, cahaya yang terang. Ya, aku merindukan cahaya itu. Aku bosan dengan mendung ini. Aku juga ingin berjalan bebas di luar sana tanpa harus takut basah dan kedinginan. Aku ingin musim kemarau kembali.
Tapi bukankah dulu aku mengeluh karenanya? Ah, manusia memang tak pernah puas. Mungkin seharusnya aku sadar setiap musim punya ceritanya sendiri. Seharusnya aku menikmati setiap musim yang mungkin akan kurindukan jika telah berlalu.
Musim yang baru dimulai hari ini. Selamat datang, hujan.
Ini...seperti dirimu, bukan?
Aku masih ingat bagaimana kau menawarkan cinta seperti hujan yang membawa kesejukan setelah kemarau panjang. Kau datang saat aku muak dengan musim itu. Panas, menyengat, kering, menyiksa. Dengan mantap, kuucapkan selamat tinggal pada kemarau dan berlari menyambut hujan. Aku menari-nari dalam belaian hujan yang lembut dan sejuk. Rasanya seperti ingin selamanya berada dalam kedamaian ini.
Tapi semuanya tidak bertahan lama. Ada masa ketika akhirnya hujan dicaci-maki. Ketika hujan turun secara berlebihan hingga tak cukup tempat untuk menampungnya. Ketika tak ada lagi yang memuji bau tanah yang basah karena hujan. Semuanya menjadi lumpur. Becek. Dan kehadiran mentari diinginkan kembali.
Aku pun merasakannya. Saat cintamu terasa berlebihan dan aku tahu hujan ini pun tak lebih baik dari kemarau yang kutinggalkan. Ketika aku sadar, bahwa menari dalam hujan akan membuat dingin menusuk hingga ke tulang. Juga saat aku mulai kesal karna hujan menahan langkahku yang biasanya bebas.
Aku mulai mengingat-ingat bahwa di balik panasnya sengatan sang surya di musim kemarau, ada hal yang tak bisa diberikan musim hujan, cahaya yang terang. Ya, aku merindukan cahaya itu. Aku bosan dengan mendung ini. Aku juga ingin berjalan bebas di luar sana tanpa harus takut basah dan kedinginan. Aku ingin musim kemarau kembali.
Tapi bukankah dulu aku mengeluh karenanya? Ah, manusia memang tak pernah puas. Mungkin seharusnya aku sadar setiap musim punya ceritanya sendiri. Seharusnya aku menikmati setiap musim yang mungkin akan kurindukan jika telah berlalu.
Musim yang baru dimulai hari ini. Selamat datang, hujan.
Oleh: ayufirmeika
Kawanku No. 191/2014
Kawanku No. 191/2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar